Friday 18 March 2016

Waspadai Pers “Pelacur” Dari Kekuasaan Sang Pengusaha!


(AMS, Artikel)
SEBELUMNYA, mari kita tengok sejenak salah satu tokoh pergerakan yang juga sebagai wartawan yang sangat aktif berjuang, juga amat tegas membela hak-hak rakyat pada masa kolonial. Yaitu Abdul Muis.

Mungkin tak banyak yang tahu, bahwa Abdul Muis adalah tokoh pertama yang dinobatkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Ia wafat tahun 1959 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), Cikutra, Bandung.

Meski Abdul Muis adalah putra asal Minangkabau yang lahir di Agam, Sumatera Barat, 3 Juli 1883. Namun ia banyak berjuang dan mengabdikan diri di tanah Jawa dan untuk seluruh Indonesia. Yakni setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. Ia bahkan termasuk salah seorang pencetus berdirinya Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan.

Semasa hidup, Abdul Muis banyak menggunakan Pers sebagai alat perjuangannya. Ia meninggalkan pekerjaannya di Departemen Onderwijs en Eredienst (Pendidikan dan Agama) lalu lebih memilih menjadi seorang wartawan di Bandung.

Tahun 1905 ia menjadi anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, wartawan Majalah Neraca, lalu tahun 1913 menjadi Pemimpin Redaksi “Harian Kaoem Moeda”. Ia melawan dan menentang pemerintahan kolonial (Belanda) tidak dengan menggunakan senjata api ataupun tajam, tetapi melalui pena. Dan ia mampu membuktikan bahwa pena lebih “tajam” daripada pedang.

Dan dari situlah ia memulai perjuangannya untuk Indonesia. Yakni sebagai seorang sastrawan, wartawan, nasionalis dan politisi yang sangat keras melawan Belanda lewat tulisan-tulisannya. Salah satu tulisannya di harian berbahasa Belanda “De Express”, Abdul Muis pernah mengecam seorang Belanda yang menghina orang Indonesia.

Selain sebagai wartawan, tahun 1918 Abdul Muis juga pernah dipercaya sebagai anggota Volksraad (dewan rakyat) mewakili Central Sarekat Islam. Kemudian saat Belanda mengasingkannya di Garut, ia malah menjadi anggota Regentschapsraad (dewan kabupaten) tahun 1926, lalu menjadi Regentschapsraad Controleur (pengawas dewan kabupaten) hingga Jepang masuk ke Indonesia.

Membayangkan perjuangan Abdul Muis ketika itu, tentulah situasinya amat berat, karena teknologi pada saat itu belumlah berkembang seperti saat ini, tetapi bentuk perjuangannya sangatlah jelas adalah untuk melawan kezaliman yang dilakukan oleh kolonialis (asing) terhadap rakyat Indonesia.

Dan itulah sekelumit kisah Abdul Muis sebagai salah satu contoh tokoh pergerakan yang menggunakan Pers sebagai alat perjuangannya, dan tentu saja itu sangat patut dijadikan panutan oleh pelaku maupun tokoh-tokoh Pers yang hidup di era saat ini. Sebab, ia adalah tokoh Pers sekaligus wartawan yang samasekali tak ingin disogok, apalagi diperbudak dan menjadi “pelacur” (menjual diri) untuk kepentingan asing dan kelompok tertentu saja.

Sayangnya, sekarang justru kelihatan sebaliknya. Sejumlah Pers malah terindikasi sebagai “pelacur” yang hanya cenderung “melayani” (membela) pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan asing dengan melakukan penzaliman dan pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh pergerakan yang berupaya menghalau “nafsu” asing untuk kembali menguasai negeri ini.

Dan Pers “pelacur” seperti ini sangat mudah dideteksi, terutama pada situasi pertarungan politik jelang pemilu atau pilkada. Selain itu, “penampakan” Pers “pelacur” seperti ini juga dapat terlihat ketika terjadi benturan sebuah kebijakan di lingkungan pemerintahan, misalnya masalah PT. Freeport, Blok Masela, dan lain sebagainya.

Dan konon, salah satu media massa yang bertolak-belakang dengan nuansa dan semangat perjuang pahlawan Abdul Muis adalah Majalah Tempo. Jika pada masa lalu Abdul Muis sebagai tokoh Pers berjuang melawan kezaliman negara luar terhadap rakyat Indonesia, Majalah Tempo saat ini justru melakukan penzaliman terhadap Rizal Ramli sebagai tokoh pergerakan sekaligus salah satu pejabat negara yang kerap tegas membela kepentingan rakyat, termasuk menghalau “nafsu” negara luar agar tidak seenaknya memaksakan kehendaknya untuk menguasai kekayaan alam negeri ini.

Mengapa Majalah Tempo dinilai melakukan penzaliman terhadap diri Rizal Ramli?

Begini cerita singkatnya, dan publik juga sebetulnya sebagian besar sudah tahu. Bahwa Rizal Ramli adalah sosok “petarung” yang pantang menyerah apapun risikonya akan tetap berhadapan dengan siapapun ketika berjuang membela hak-hak rakyat.

Olehnya itu, kehadiran Rizal Ramli di dalam Kabinet Kerja nampaknya merupakan “mimpi buruk” bagi Jusuf Kalla (JK) beserta kelompoknya. Sebab, sejak dulu Rizal Ramli memang sangat dikenal sebagai penganut ekonomi kerakyatan, sementara JK sebagai pengusaha adalah penganut ekonomi neoliberal yang kini “berlabel” penguasa itu diduga kuat akan menggunakan kekuasaannya untuk “berbisnis”.

Benar saja, sejumlah kebijakan pun dikritisi dan dikoreksi secara tegas oleh Rizal Ramli. Sebab, selain diduga ada kepentingan terselubung dari JK bersama kelompoknya, sejumlah kebijakan itu juga dinilai tidak sesuai dengan cita-cita Trisakti serta Nawacita, dan cenderung hanya menimbulkan kerugiaan bagi bangsa dan negara.

Kritik dan koreksi yang dilakukan Rizal Ramli itu pun membuat publik nampaknya makin mengerti, tentang mengapa JK dan kelompoknya begitu sangat menghendaki proyek listrik 35 ribu Megawatt. Juga publik kelihatannya makin memahami mengapa Sudirman Said selaku Menteri ESDM begitu nampak sangat mati-matian (meski menabrak aturan) demi membela PT. Freeport. Selain itu, publik juga nampaknya semakin memahami mengapa Sudirman Said begitu ngotot menghendaki metode offshore pembangunan Kilang Gas Blok Masela meski harus melawan kehendak rakyat Maluku.

Merasa “rencananya” dihalang-halangi dan “diobrak-abrik” oleh Rizal Ramli, JK bersama kelompoknya pun sepertinya kompak melakukan perlawanan kepada Rizal Ramli dengan menuding sebagai sumber kegaduhan di dalam kabinet.

Dan besar dugaan, salah satu bentuk perlawanan kubu JK tersebut adalah dengan mengerahkan kekuatan propaganda melalui media massa. Tentu saja ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengajak pihak-pihak lain (termasuk rakyat) agar dapat turut menyudutkan Rizal Ramli.

Misalnya seorang rohaniawan, Romo Benny, pada Kamis (10/3/2016) di Metro TV dalam acara Prime Time News, tiba-tiba “disulap menjelma” bak pakar Hukum Tata Negara dengan menyampaikan protes dan keberatannya terhadap Rizal Ramli yang telah melakukan penambahan kata “Sumber Daya” di belakang nomenklatur (penamaan) Kementerian Koordinator Kemaritiman. Parahnya, Romo Benny menuding Rizal Ramli telah melakukan pembangkangan karena masalah penambahan nomenklatur tersebut.

Anehnya, pada hari yang sama (Kamis, 10/3/2016), Tempo.co juga menayangkan dua judul tulisan yang berbeda namun dengan tema yangsama, yakni masalah penanganan dwelling-time. Anehnya, dalam tulisan tersebut, Tempo nampaknya sengaja memunculkan data yang sudah tak sesuai dengan kondisi saat ini (data 6 bulan lalu).

Lucunya lagi, kedua judul yang berbeda tersebut pada beberapa paragraf terdapat tulisan yang sama persis rangkaian kalimatnya. Di antaranya kalimat, “Jokowi mengaku kecewa karena dwelling time di Indonesia mencapai enam-tujuh hari.” Padahal di dashboard online Pelabuhan Tanjung Priok jelas-jelas saat ini menunjukkan dwelling time sudah berada pada posisi normal 3,6 hari.

Apakah Romo Benny melalui Metro TV dan juga dengan Tempo.co atau dengan pihak lainnya tersebut merupakan bagian dari bentuk “pengerahan perlawanan” yang telah di-setting oleh kelompok JK atau tidak, entahlah??? Juga apakah hal-hal tersebut merupakan upaya balas dendam atas ditetapkannya salah satu orang JK (RJ Lino) atau tidak, entahlah???

Yang jelas penayangan Metro TV dan Tempo.co tersebut cukup terkesan manipulatif, sehingga sangat patut dicurigai sekaligus diwaspadai sebagai salah satu upaya penzaliman sekaligus kejahatan dari kubu JK guna menghentikan langkah para tokoh perjuangan dan pergerakan seperti Rizal Ramli yang memang sangat aktif menghalau “nafsu” sang pengusaha yang juga sebagai penguasa itu.

Pernah menonton salah satu Film James Bond berjudul Tomorrow Never Dies? Secara umum kira-kira seperti itulah yang sedang dilakukan oleh kelompok JK.

Dalam film tersebut, si jahat bernafsu lalu berupaya menguasai dunia, bukan dengan menggunakan kekerasan, melainkan dengan menguasai media komunikasi massa. Pesan transparan yang diberikan oleh film ini, bahwa kita hidup dalam dunia yang semakin terancam oleh pihak-pihak pengendali ‘kekuasaan media’, yaitu mereka yang menguasai jaringan televisi, studio produksi film, dan media komputer, yang tertarik membangun konspirasi untuk menguasai apa saja menurut seleranya.

Di saat seperti itu, insan Pers benar-benar merasa merdeka namun kehilangan idealisme dan nurani, sehingga media massa pun tak lagi segan-segan menjadi “pelacur” untuk menjadi “budak” sang pengusaha yang juga berlabel penguasa itu.

Tentang penggambaran tersebut, Jakob Oetama selaku pendiri Kompas Gramedia pernah berpesan, “Kemerdekaan Pers jangan hanya mengutamakan freedom from, tetapi juga harus diimbangi freedom for, yaitu kemerdekaan Pers untuk rakyat. Membela kepentingan rakyat sudah jadi naluri dan nurani wartawan di mana-mana.”

Jujur, pesan Jakob Oetama tersebut secara kebetulan menjadi motivasi saya mencintai profesi sebagai wartawan yang saya tekuni sejak tahun 1990-an. Di samping itu, saya juga punya ideologi (pandangan) dan alasan tersendiri mengapa harus memilih “hidup” sebagai seorang wartawan yang saya yakini sebagai pekerjaan yang sangat mulia itu.

Menurut pandangan saya, bekerja dalam penerbitan media massa ibarat melakukan “pekerjaan seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi”, yakni sama-sama menyebarkan dan menyampaikan “ayat-ayat” kebenaran untuk menjadi manfaat bagi seluruh makhluk. Bedanya, nabi-nabi menuliskan “kebenaran” itu di dalam sebuah media yang disebut kitab (Kitab kaum Islam disebut Quran, bahasa Inggrisnya adalah Koran), dan para nabi itulah yang bertindak sebagai “pemimpin redaksi” atas kitab masing-masing.

Perbedaan lainnya, para nabi menerbitkan kitab (medianya) hanya dalam sekali periodik penerbitan, selanjutnya akan terus dicetak dalam jumlah oplah yang tak terbatas. Sedangkan para penerbit media massa (cetak) punya priodik penerbitan yang bervariasi (harian, mingguan, bulanan, dan sebagainya). Tetapi, yang menjadi inti dalam hal ini adalah hendaknya sebagai insan Pers ataupun pemilik media massa untuk selalu memberi “petunjuk” ke arah kebenaran, bukan pembenaran menurut selera dan rekayasa dari kelompok tertentu yang justru akan memunculkan tragedi-tragedi baru yang mengenaskan dan juga menjerat korban-korban yang tak bersalah.

Jadi, bekerja sebagai insan Pers sesungguh memang sangatlah mulia jika dilakukan dengan benar. Sebaliknya, akan menjadi pekerjaan yang sangat dilaknat Tuhan apabila media massa dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melakukan penzaliman terhadap individu atau kelompok yang memperjuangkan kebenaran.

Ada kutipan pesan menarik dari mantan Pemimpin Redaksi Surat Kabar Al-Ahram terbitan Kairo-Mesir, Dr. H. Hassan Albanna, bahwa: ‘’the job of journalist is not for hunting news only, but how to save the people’’ (tugas utama seorang wartawan sejati, bukan hanya mampu memburu berita, tapi harus juga dapat menyelamatkan orang-orang,-- yang teraniaya).

Bahkan mantan Pemred PosKota, H. Sofyan Lubis (almarhum),  pernah secara tegas melontarkan sindiran keras kepada para pemilik media massa agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya sebagai insan Pers. Ia mengatakan, bahwa Pers Indonesia jangan sampai menjadi ‘’centeng’’ (anjing penjaga malam) buat para pejabat rakus, ataupun ‘’pelacur’ buat penguasa dan pengusaha.

H. Sofyan Lubis yang juga mantan Ketua Umum PWI Pusat itu mengajak Pers Nasional agar tidak segan-segan menjalankan kontrol sosial dengan tajam, transparan, akurat namun berimbang. Karena, katanya, Pers juga berfungsi sebagai pengawal nilai-nilai kebenaran, bukan pelindung kejahatan terselubung, atau menjadi alat propaganda yang bombaptis, sesat dan menyesatkan informasi yang hakiki.

Cover both side dan croos check, buat menjaga kemuliaan sejati seorang wartawan, adalah hendaknya wajib dijadikan sebuah prinsip untuk tetap dijunjung tinggi dan dipertahankan. Sehingga, nantinya tidak melahirkan opini keliru, dimana seringkali ‘ber­naung’ di bawah ketiak pemilik sebuah media raksasa.

Suatu berita yang tidak memenuhi prinsip cover both side yang disusun oleh jurnalis tidak ada bedanya membangun reality in imagination (kenyataan dalam imajinasi), bukan real in reality (nyata dalam kenyataan). Berita yang disusun berdasar reality in imagination rata-rata lebih merupakan pekerjaan kehumasan, bukan jurnalistik.

Sehingganya, jika suatu media banyak gagal melakukan cover both side karena mungkin media tersebut sangat sulit lepas dan bebas dari kepentingan pemilik yang memihak pada kelompok tertentu, maka media massa tersebut hanya sebatas sebagai media pengawal aspirasi dan penyambung lidah sang pemilik. Dan media seperti ini lebih pantas dinamai sebagai media humas yang bertugas hanya untuk memenuhi kepentingan pemilik.

Padahal bila peran dan fungsi media massa atau Pers bila dilaksanakan dengan benar, maka akan membawa manfaat dan kemajuan besar bagi negeri ini. Saya justru membayangkan, betapa dahsyatnya jika para pemilik media dapat bersatu dan kompak untuk tidak memberitakan atau menulis “ide-ide” dari oknum-oknum pejabat pemerintahan atau siapa saja yang nyata-nyata telah terindikasi melakukan pelanggaran, baik sebagai koruptor maupun kejahatan-kejahatan lainnya.

Sebagai kesimpulan dari saya, bahwa suatu negara yang dianggap telah rusak sebenarnya masih bisa menjadi baik (bahkan maju dan berkembang) apabila negara tersebut mendapat “asuhan” dari elite-elite dan juga media-media massa yang baik dengan berani tampil (seperti Rizal Ramli) dalam membela kepentingan umum.

Sebaliknya, Elite-elite dan juga media-media massa yang dianggap telah “rusak” (mental dan moralnya) karena melakukan kegiatan yang merugikan bangsa dan negara hanya akan melahirkan generasi-generasi yang rusak pula, salah satunya rusak karena “melacur” (menjual diri, bangsa dan negaranya) demi kepentingan kelompok tertentu. Jadi waspada... dan waspadalah!!!