(AMS, Artikel)
SEBELUMNYA, mari kita tengok sejenak salah satu tokoh
pergerakan yang juga sebagai wartawan yang sangat aktif berjuang, juga amat
tegas membela hak-hak rakyat pada masa kolonial. Yaitu Abdul Muis.
Mungkin tak banyak yang tahu, bahwa Abdul Muis adalah
tokoh pertama yang dinobatkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Ia wafat
tahun 1959 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), Cikutra, Bandung.
Meski Abdul Muis adalah putra asal Minangkabau yang
lahir di Agam, Sumatera Barat, 3 Juli 1883. Namun ia banyak berjuang dan
mengabdikan diri di tanah Jawa dan untuk seluruh Indonesia. Yakni setelah
kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada
pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. Ia bahkan termasuk salah
seorang pencetus berdirinya Technische Hooge School – Institut Teknologi
Bandung (ITB) di Priangan.
Semasa hidup, Abdul Muis banyak menggunakan Pers
sebagai alat perjuangannya. Ia meninggalkan pekerjaannya di Departemen Onderwijs
en Eredienst (Pendidikan dan Agama) lalu lebih memilih menjadi seorang wartawan
di Bandung.
Tahun 1905 ia menjadi anggota dewan redaksi majalah
Bintang Hindia, wartawan Majalah Neraca, lalu tahun 1913 menjadi Pemimpin
Redaksi “Harian Kaoem Moeda”. Ia melawan dan menentang pemerintahan kolonial
(Belanda) tidak dengan menggunakan senjata api ataupun tajam, tetapi melalui
pena. Dan ia mampu membuktikan bahwa pena lebih “tajam” daripada pedang.
Dan dari situlah ia memulai perjuangannya untuk
Indonesia. Yakni sebagai seorang sastrawan, wartawan, nasionalis dan politisi yang sangat keras melawan Belanda lewat
tulisan-tulisannya. Salah satu tulisannya di harian berbahasa Belanda “De
Express”, Abdul Muis pernah mengecam seorang Belanda yang menghina orang
Indonesia.
Selain sebagai wartawan, tahun 1918 Abdul Muis juga
pernah dipercaya sebagai anggota Volksraad (dewan rakyat) mewakili Central
Sarekat Islam. Kemudian saat Belanda mengasingkannya di Garut, ia malah menjadi
anggota Regentschapsraad (dewan kabupaten) tahun 1926, lalu menjadi Regentschapsraad
Controleur (pengawas dewan kabupaten) hingga Jepang masuk ke Indonesia.
Membayangkan perjuangan Abdul Muis ketika itu,
tentulah situasinya amat berat, karena teknologi pada saat itu belumlah
berkembang seperti saat ini, tetapi bentuk perjuangannya sangatlah jelas adalah
untuk melawan kezaliman yang dilakukan oleh kolonialis (asing) terhadap rakyat
Indonesia.
Dan itulah sekelumit kisah Abdul Muis sebagai salah
satu contoh tokoh pergerakan yang menggunakan Pers sebagai alat perjuangannya,
dan tentu saja itu sangat patut dijadikan panutan oleh pelaku maupun
tokoh-tokoh Pers yang hidup di era saat ini. Sebab, ia adalah tokoh Pers sekaligus
wartawan yang samasekali tak ingin disogok, apalagi diperbudak dan menjadi
“pelacur” (menjual diri) untuk kepentingan asing dan kelompok tertentu saja.
Sayangnya, sekarang justru kelihatan sebaliknya. Sejumlah
Pers malah terindikasi sebagai “pelacur” yang hanya cenderung “melayani” (membela)
pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan asing dengan melakukan penzaliman dan
pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh pergerakan yang berupaya menghalau
“nafsu” asing untuk kembali menguasai negeri ini.
Dan Pers “pelacur” seperti ini sangat mudah dideteksi,
terutama pada situasi pertarungan politik jelang pemilu atau pilkada. Selain
itu, “penampakan” Pers “pelacur” seperti ini juga dapat terlihat ketika terjadi
benturan sebuah kebijakan di lingkungan pemerintahan, misalnya masalah PT.
Freeport, Blok Masela, dan lain sebagainya.
Dan konon, salah satu media massa yang bertolak-belakang
dengan nuansa dan semangat perjuang pahlawan Abdul Muis adalah Majalah Tempo.
Jika pada masa lalu Abdul Muis sebagai tokoh Pers berjuang melawan kezaliman negara
luar terhadap rakyat Indonesia, Majalah Tempo saat ini justru melakukan
penzaliman terhadap Rizal Ramli sebagai tokoh pergerakan sekaligus salah satu
pejabat negara yang kerap tegas membela kepentingan rakyat, termasuk menghalau
“nafsu” negara luar agar tidak seenaknya memaksakan kehendaknya untuk menguasai
kekayaan alam negeri ini.
Mengapa Majalah Tempo dinilai melakukan penzaliman
terhadap diri Rizal Ramli?
Begini cerita singkatnya, dan publik juga sebetulnya
sebagian besar sudah tahu. Bahwa Rizal Ramli adalah sosok “petarung” yang
pantang menyerah apapun risikonya akan tetap berhadapan dengan siapapun ketika
berjuang membela hak-hak rakyat.
Olehnya itu, kehadiran Rizal Ramli di dalam Kabinet
Kerja nampaknya merupakan “mimpi buruk” bagi Jusuf Kalla (JK) beserta
kelompoknya. Sebab, sejak dulu Rizal Ramli memang sangat dikenal sebagai
penganut ekonomi kerakyatan, sementara JK sebagai pengusaha adalah penganut
ekonomi neoliberal yang kini “berlabel” penguasa itu diduga kuat akan
menggunakan kekuasaannya untuk “berbisnis”.
Benar saja, sejumlah kebijakan pun dikritisi dan
dikoreksi secara tegas oleh Rizal Ramli. Sebab, selain diduga ada kepentingan
terselubung dari JK bersama kelompoknya, sejumlah kebijakan itu juga dinilai tidak
sesuai dengan cita-cita Trisakti serta Nawacita, dan cenderung hanya menimbulkan
kerugiaan bagi bangsa dan negara.
Kritik dan koreksi yang dilakukan Rizal Ramli itu pun
membuat publik nampaknya makin mengerti, tentang mengapa JK dan kelompoknya
begitu sangat menghendaki proyek listrik 35 ribu Megawatt. Juga publik kelihatannya
makin memahami mengapa Sudirman Said selaku Menteri ESDM begitu nampak sangat mati-matian
(meski menabrak aturan) demi membela PT. Freeport. Selain itu, publik juga nampaknya
semakin memahami mengapa Sudirman Said begitu ngotot menghendaki metode
offshore pembangunan Kilang Gas Blok Masela meski harus melawan kehendak rakyat
Maluku.
Merasa “rencananya” dihalang-halangi dan “diobrak-abrik”
oleh Rizal Ramli, JK bersama kelompoknya pun sepertinya kompak melakukan
perlawanan kepada Rizal Ramli dengan menuding sebagai sumber kegaduhan di dalam
kabinet.
Dan besar dugaan, salah satu bentuk perlawanan kubu JK
tersebut adalah dengan mengerahkan kekuatan propaganda melalui media massa.
Tentu saja ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengajak pihak-pihak lain
(termasuk rakyat) agar dapat turut menyudutkan Rizal Ramli.
Misalnya seorang rohaniawan, Romo Benny, pada Kamis
(10/3/2016) di Metro TV dalam acara Prime Time News, tiba-tiba “disulap
menjelma” bak pakar Hukum Tata Negara dengan menyampaikan protes dan
keberatannya terhadap Rizal Ramli yang telah melakukan penambahan kata “Sumber
Daya” di belakang nomenklatur (penamaan) Kementerian Koordinator Kemaritiman.
Parahnya, Romo Benny menuding Rizal Ramli telah melakukan pembangkangan karena
masalah penambahan nomenklatur tersebut.
Anehnya, pada hari yang sama (Kamis, 10/3/2016),
Tempo.co juga menayangkan dua judul tulisan yang berbeda namun dengan tema yangsama, yakni masalah penanganan dwelling-time. Anehnya, dalam tulisan tersebut,
Tempo nampaknya sengaja memunculkan data yang sudah tak sesuai dengan kondisi
saat ini (data 6 bulan lalu).
Lucunya lagi, kedua judul yang berbeda tersebut pada
beberapa paragraf terdapat tulisan yang sama persis rangkaian kalimatnya. Di
antaranya kalimat, “Jokowi mengaku kecewa karena dwelling time di Indonesia
mencapai enam-tujuh hari.” Padahal di dashboard online Pelabuhan Tanjung Priok
jelas-jelas saat ini menunjukkan dwelling time sudah berada pada posisi normal 3,6
hari.
Apakah Romo Benny melalui Metro TV dan juga dengan Tempo.co
atau dengan pihak lainnya tersebut merupakan bagian dari bentuk “pengerahan perlawanan”
yang telah di-setting oleh kelompok JK atau tidak, entahlah??? Juga apakah hal-hal
tersebut merupakan upaya balas dendam atas ditetapkannya salah satu orang JK
(RJ Lino) atau tidak, entahlah???
Yang jelas penayangan Metro TV dan Tempo.co tersebut cukup
terkesan manipulatif, sehingga sangat patut dicurigai sekaligus diwaspadai
sebagai salah satu upaya penzaliman sekaligus kejahatan dari kubu JK guna menghentikan
langkah para tokoh perjuangan dan pergerakan seperti Rizal Ramli yang memang sangat
aktif menghalau “nafsu” sang pengusaha yang juga sebagai penguasa itu.
Pernah menonton salah satu Film James Bond berjudul Tomorrow
Never Dies? Secara umum kira-kira seperti itulah yang sedang dilakukan oleh
kelompok JK.
Dalam film tersebut, si jahat bernafsu lalu berupaya
menguasai dunia, bukan dengan menggunakan kekerasan, melainkan dengan menguasai
media komunikasi massa. Pesan transparan yang diberikan oleh film ini, bahwa
kita hidup dalam dunia yang semakin terancam oleh pihak-pihak pengendali
‘kekuasaan media’, yaitu mereka yang menguasai jaringan televisi, studio produksi
film, dan media komputer, yang tertarik membangun konspirasi untuk menguasai
apa saja menurut seleranya.
Di saat seperti itu, insan Pers benar-benar merasa
merdeka namun kehilangan idealisme dan nurani, sehingga media massa pun tak
lagi segan-segan menjadi “pelacur” untuk menjadi “budak” sang pengusaha yang juga
berlabel penguasa itu.
Tentang penggambaran tersebut, Jakob Oetama selaku pendiri
Kompas Gramedia pernah berpesan, “Kemerdekaan Pers jangan hanya mengutamakan
freedom from, tetapi juga harus diimbangi freedom for, yaitu kemerdekaan Pers
untuk rakyat. Membela kepentingan rakyat sudah jadi naluri dan nurani wartawan
di mana-mana.”
Jujur, pesan Jakob Oetama tersebut secara kebetulan
menjadi motivasi saya mencintai profesi sebagai wartawan yang saya tekuni sejak
tahun 1990-an. Di samping itu, saya juga punya ideologi (pandangan) dan alasan
tersendiri mengapa harus memilih “hidup” sebagai seorang wartawan yang saya
yakini sebagai pekerjaan yang sangat mulia itu.
Menurut pandangan saya, bekerja dalam penerbitan media
massa ibarat melakukan “pekerjaan seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi”, yakni
sama-sama menyebarkan dan menyampaikan “ayat-ayat” kebenaran untuk menjadi
manfaat bagi seluruh makhluk. Bedanya, nabi-nabi menuliskan “kebenaran” itu di
dalam sebuah media yang disebut kitab (Kitab kaum Islam disebut Quran, bahasa
Inggrisnya adalah Koran), dan para nabi itulah yang bertindak sebagai “pemimpin
redaksi” atas kitab masing-masing.
Perbedaan lainnya, para nabi menerbitkan kitab
(medianya) hanya dalam sekali periodik penerbitan, selanjutnya akan terus
dicetak dalam jumlah oplah yang tak terbatas. Sedangkan para penerbit media massa
(cetak) punya priodik penerbitan yang bervariasi (harian, mingguan, bulanan,
dan sebagainya). Tetapi, yang menjadi inti dalam hal ini adalah hendaknya
sebagai insan Pers ataupun pemilik media massa untuk selalu memberi “petunjuk” ke
arah kebenaran, bukan pembenaran menurut selera dan rekayasa dari kelompok
tertentu yang justru akan memunculkan tragedi-tragedi baru yang mengenaskan dan
juga menjerat korban-korban yang tak bersalah.
Jadi, bekerja sebagai insan Pers sesungguh memang
sangatlah mulia jika dilakukan dengan benar. Sebaliknya, akan menjadi pekerjaan
yang sangat dilaknat Tuhan apabila media massa dijadikan sebagai alat kekuasaan
untuk melakukan penzaliman terhadap individu atau kelompok yang memperjuangkan
kebenaran.
Ada kutipan pesan menarik dari mantan Pemimpin Redaksi
Surat Kabar Al-Ahram terbitan Kairo-Mesir, Dr. H. Hassan Albanna, bahwa: ‘’the
job of journalist is not for hunting news only, but how to save the people’’
(tugas utama seorang wartawan sejati, bukan hanya mampu memburu berita, tapi
harus juga dapat menyelamatkan orang-orang,-- yang teraniaya).
Bahkan mantan Pemred PosKota, H. Sofyan Lubis
(almarhum), pernah secara tegas
melontarkan sindiran keras kepada para pemilik media massa agar tidak
menyalahgunakan kekuasaannya sebagai insan Pers. Ia mengatakan, bahwa Pers
Indonesia jangan sampai menjadi ‘’centeng’’ (anjing penjaga malam) buat para
pejabat rakus, ataupun ‘’pelacur’ buat penguasa dan pengusaha.
H. Sofyan Lubis yang juga mantan Ketua Umum PWI Pusat itu
mengajak Pers Nasional agar tidak segan-segan menjalankan kontrol sosial dengan
tajam, transparan, akurat namun berimbang. Karena, katanya, Pers juga berfungsi
sebagai pengawal nilai-nilai kebenaran, bukan pelindung kejahatan terselubung,
atau menjadi alat propaganda yang bombaptis, sesat dan menyesatkan informasi
yang hakiki.
Cover both side dan croos check, buat menjaga kemuliaan
sejati seorang wartawan, adalah hendaknya wajib dijadikan sebuah prinsip untuk tetap
dijunjung tinggi dan dipertahankan. Sehingga, nantinya tidak melahirkan opini keliru,
dimana seringkali ‘bernaung’ di bawah ketiak pemilik sebuah media raksasa.
Suatu berita yang tidak memenuhi prinsip cover both
side yang disusun oleh jurnalis tidak ada bedanya membangun reality in
imagination (kenyataan dalam imajinasi), bukan real in reality (nyata dalam
kenyataan). Berita yang disusun berdasar reality in imagination rata-rata lebih
merupakan pekerjaan kehumasan, bukan jurnalistik.
Sehingganya, jika suatu media banyak gagal melakukan cover
both side karena mungkin media tersebut sangat sulit lepas dan bebas dari
kepentingan pemilik yang memihak pada kelompok tertentu, maka media massa
tersebut hanya sebatas sebagai media pengawal aspirasi dan penyambung lidah sang
pemilik. Dan media seperti ini lebih pantas dinamai sebagai media humas yang
bertugas hanya untuk memenuhi kepentingan pemilik.
Padahal bila peran dan fungsi media massa atau Pers bila
dilaksanakan dengan benar, maka akan membawa manfaat dan kemajuan besar bagi
negeri ini. Saya justru membayangkan, betapa dahsyatnya jika para pemilik media
dapat bersatu dan kompak untuk tidak memberitakan atau menulis “ide-ide” dari oknum-oknum
pejabat pemerintahan atau siapa saja yang nyata-nyata telah terindikasi
melakukan pelanggaran, baik sebagai koruptor maupun kejahatan-kejahatan
lainnya.
Sebagai kesimpulan dari saya, bahwa suatu negara yang
dianggap telah rusak sebenarnya masih bisa menjadi baik (bahkan maju dan
berkembang) apabila negara tersebut mendapat “asuhan” dari elite-elite dan juga
media-media massa yang baik dengan berani tampil (seperti Rizal Ramli) dalam membela
kepentingan umum.
Sebaliknya, Elite-elite dan juga media-media massa
yang dianggap telah “rusak” (mental dan moralnya) karena melakukan kegiatan
yang merugikan bangsa dan negara hanya akan melahirkan generasi-generasi yang
rusak pula, salah satunya rusak karena “melacur” (menjual diri, bangsa dan
negaranya) demi kepentingan kelompok tertentu. Jadi waspada... dan
waspadalah!!!